Selamat Datang

Selamat datang di blognya orang Indonesia asli. Silahkan melihat-lihat sekeliling. Semoga bermanfaat bagi hidup dan kehidupan.

Minggu, 21 November 2010

BAB X - Agama itu Bukan Candu

Pada awalnya berawal dari sebuah pertanyaan tentang apakah agama itu sebenarnya? kenapa dengan agama justru manusia membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. Masing-masing manusia merasa agama yang dianutlah yang paling benar.  Sampai akhirnya saya dipertemukan beberapa buku secara tidak sengaja atau mungkin ini yang namanya jodoh (jodoh bukan hanya pasangan hidup kan??).
Saya sudah membaca beberapa buku yang membahas tentang Agama. Tidak ada salahnya jika kita belajar untuk membaca pikiran dari tokoh yang menganut paham komunisme. Dan tidak ada salahnya juga jika mengambil pesan yang baiknya sebagai bahan wacana dan pembelajaran hidup. Menurut saya hidup tidak perlu kaku, buka wacana seluas-luasnya, karena tidak semua yang menurut asumsi masyarakat itu hal yang buruk adalah buruk benar adanya.
Buku ini adalah salah satu buku terbaik saya. Buku karangan Eko E Darmawan. “Berjudul Agama itu bukan candu”. Diawal buku ini pun beliau menceritakan sejarah awal bagaimana beliau mengangkat tema ini. Semua berawal dari keheranan. Keheranan ketika beliau melihat beberapa mahasiswa melakukan solat, tapi setelah itu mereka melakukan aktivitas yang tak berguna justru setelah mereka melakukan solat. Semakin banyak peribadatan yang kita lakukan, tampaknya semakin membuat kita tidak pernah membuat resah dan merasa bersalah.  Justru rasa tenang dan nyaman yang timbul. Karena sudah “menyenangkan” Tuhan. Menjalankan peribadatan telah membuat kita merasa telah menjadi saleh. Dan asal hidup kita sukses, anak kita sukses, maka selesailah urusan kita. Tetapi apakah keyakinan yang demikian itu memang sebuah keber-agamaan yang sejati? Didalam buku ini terdapat 3 tokoh, Feuerbach, Marx dan Tan Malaka yang kebetulan adalah penganut aliran komunisme. Tapi yang dibahas disini bukan tentang komunisme, tapi bagaimana pemikiran mereka terhadap agama, dan apa itu agama menurut mereka sendiri. Menurut saya adalah hal yang baik ketika kita membaca dan mendengar sisi lain dari sesuatu atau dalam hal ini adalah seseorang yang fenomenal di dunia.
Sedikit mengulas isi buku. Saya akan mencoba mengulas pembahasan tentang Feuerbach. Disini dibahas tentang hasil karya pemikiran Feuerbach yang berjudul “The Essence of Chrisrtianity”. Buku ini tidak mudah dicerna karena harus memilih inti pemahaman diantara tumpukan kalimat-kalimat yang sulit dan bersegi banyak maknanya.  “Certainly, my work is negative, destructive; but, be it observed, only in relation to the unhuman, not to human elements of religion”. Buku ini mengkritik bukan yang sembarang kritik, tetapi kritik yang berusaha meruntuhkan pemaknaan agama yang tidak manusiawi, pemaknaan agama yang menjadikan sesuatu diluar manusia sebagai tujuan agama. Kritik ini adalah kritik terhadap mereka yang terlalu teosetris dalam memahami agama hingga melupakan hakekat antro posentris dari agama.
Menurutnya agama tidak semata-mata tentang Tuhan, tapi pengembangan diri manusia. Agama bukanlah tentang Tuhan yang secara sewenang-wenang menyuruh manusia untuk patuh dan taat kepada-Nya, namun tentang pulihnya kesadaran. Dalam diri manusia akan perjalanan hidupnya, dari makhluk yang terperangkap dalam batas-batas ruang dan waktu menjadi yang mensemesta.
Pola pemaknaan agama yang terlalu teosentris akan menjadikan Tuhan itu terasa sebagai Tuhan yang harus dipatuhi dan ditaati. Sementara pola pemaknaan agama menurut Feuerbach ialah agama sebagai antropologi, yaitu agama sebagai ajaran tentang hakekat manusia. Artinya, bagaimana mausia terus menerus mengembangkan keberadaannya. Misi agama adalah tentang bagaimana manusia mengisi atau membentuk eksistensinya secara konkret di alam raya ini.
“Religion has its genesis in the essential difference between man and the animal. The animals have no religion”. Jawaban yang paling umum dan paling berhubungan dengan pernyataan ini adalah kesadaran. Menurutnya kesadaran adalah kesanggupan untuk merenungkan cara bereksistensinya, modus kehidupannya. Dan kesanggupan itu berarti bahwa manusia bisa bertanggung jawab atas  pembentukan caranya  bereksistensi, caranya menjalani hidup.
Manakala kesadaran itu sedemikian terbatas, dan karena keterbatasannya itu berwatak tegas dan tepat, yang sedang kita bicarakan itu sebenarnya bukanlah kesadaran, namun naluri. Kesadaran sanggup melampaui batas-batas modus eksistensi. Kesadaran sanggup menyaksikan dan bahkan menilai kehidupan alam semesta ini secara keseluruhan.
Meminjam kata-kata Muhammad Zuhri: “Ketahuilah, bahwa bermilyar tahun semesta dalam keadaan tak sadar akan dirinya. Dan ketika ia sadar akan dirinya, manusialah wujudnya!”
Lalu Feuerbach menjelaskan esensi manusia. “Reason, Will and Heart”. Feuerbach mengangap ketiganya  (akal budi, kehendak dan hati/perasaan) sebagai kekuatan-kekuatan ilahiah yang bersemayam dalam diri manusia. Ketiganyalah yang menjadikan manusia sebagai manusia ditengah alam semesta ini. Tanpa salah satunya, akan membuat manusia tak lagi manusiawi.
Ketiganya bisa diarahkan pada keterbatasan, kedunia ruang dan waktu yang terbatas, namun juga bisa diarahkan kearah ketakterbatasan, ke dunia yang melampaui ruang dan waktu.
Jika kita membandingkan pendapat Feuerbach denagn ajaran keraifan tradisional didunia, maka sesungguhnya pemikirannya bukanlah sesuatu yang baru. Fardu’d-din Attar, seorang sufi besar, dalam karyanya “Musyawarah Burung” misalnya mengajarkan: “Bila kau ingin sempurna carilah kesemestaan, pilihlah kesemestaan, jadilah kesemestaan”.
Sementara dalam ajaran Zen Buddhisme dinyatakan: “manusia itu egois, yang satu berpikir bahwa ‘diri’ itu adalah ‘saya’, sehingga lalu membeda-bedakan dirinya dari orang lain lalu sengsara. Sesungguhnya, manusia tidak lain adalah salah satu dari unsur-unsur keagungan alam. Renungkan itu…”
Menurut Feuerbach, Tuhan adalah hakekat manusia yang sejati yang mengatasi ruang dan waktu, dan memanggil hakekat manusia yang terperangkap dalam ruang dan waktu untuk kembali bersatu dalam kesemestaan.
Manusia bisa tahu tentang keberadaan Tuhan, adalah dengan lewat pewahyuan.  Pewahyuan merupakan sebuah pertemuan dan dialog antara Tuhan yang mewahyukan diri sebagai kesempurnaan hakekat manusia dengan hakekat manusia individual yang terperangkap dalam tubuh yang meruang dan mewaktu.
Karena kasih sayang-Nya, Tuhan mewahyukan diri-Nya selaras dengan bahasa manusia, selaras kodrat manusia, karena memang jika tak demikian, manusia tak akan sanggup memahami Tuhan. Cara yang selaras baik dengan kodrat manusia maupun dengan kesempurnaan Tuhan ialah dengan menghadirkan diri-Nya sebagai wujud kesempurnaan kodrat manusia. Tuhan memang tujuan manusia yang beragama. Bersatu dalam Tuhan adalah cita-cita mereka yang berjiwa religius.
 Manusia membutuhkan sesuatu diluar dirinya, membutuhkan dunia sebagai arah, bahan, medium dan sekaligus tujuan pengejawantahan dirinya. Dalam bahasa sehari-hari, pengejawantahan kita sebut sebagai  bekerja. Akal budi, kehendak dan perasaan membutuhkan sesuatu diluar dirinya. Agar bisa mengejawantah, dan bisa mewujudkan dirinya. Karena itu manusia tidak bisa lepas dari apa segala yang ada dialam, agar ketiga esensi tersebut dapat tumbuh dan berkembang.
Kark Marx, adalah tokoh kedua dibuku ini. Menurut beliau bahwa Feuerbach melupakan satu hal penting: keber-agaman. Karena keber-agaman adalah sesuatu yang bukan telah ada begitu saja dalam diri manusia, namun lebih merupakan sebuah proses aktif dari manusia itu sendiri dalam proses pergaulannya bersama dengan sesama manusia dan alam materialnya.
Menurutnya kesadaran akan esensi itu bukanlah sesuatu yang abstrak, sesuatu yang bisa dikembangkan dalam keterisolasian dari konteks sosio-historis.
Rasa keberagaman itu adalah sesuatu yang konkret, karena dia merupakan inti dari manusia yang konnkret, karena dia merupakan inti dari manusia yang konkret pula. Pikiran, perasaan dan kehendak membutuhkan obyek-obyek diluar dirinya sendiri untuk menyatakan dirinya. Tanpa obyek-obyek diluar dirinya, ketiga daya tersebut akan hampa, kosong, abstrak, ilusif.
Pengertian tempat ibadah sebagai rumah Tuhan, diartikan bahwa Tuhan itu hanya ada di masjid, gereja, pura, wihara dsb. Orang hanya merasakan keagungan Tuhan ditempat tertentu. Bukan saat naik bis kota, ditoko sepatu dsb.
Menurut Kark Marx, Saat rasa kehadiran Tuhan hanya berlangsung dalam aktivitas dan tempat tertentu, maka disitulah rasa keber-agamaan itu diredusir maknanya. Tuhan dilokalisir dalam ruang dan waktu tertentu dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dalam bekerja membangun dan mencipta dunia, perasaan, pikiran dan kehendak manusia terus-menerus berkembang semakin luas dan dalam, semakin mensemesta. Semakin kaya bidang kehidupan yang dikenalinya dan dipahaminya, maka semakin luas cakrawala hidup manusia. Dan luasnya cakrawala hidup membuat perasaan, pemikiran dan kehendaknya untuk bersatu dalam arus sejarah alam semesta menjadi tumbuh lebih segar lagi.
Rasa keber-agamaan yang sejati senantiasa memandang dan menghayati sejarah dan dunia ini sebagai suatu yang historis, artinya sesuatu yang 100% hasil kerja tangan-tangan manusia secara kolektif. Dan karena merupakan hasil kerja manusia, maka dunia ini tidaklah absolute maupun sudah final.
Agama adalah candu dari masyarakat dan agama sebagai manusia ideal… dalam wujud bayangan. Surga bayangan, candu membawa kita kedunia impian yang tidak nyata sehingga manusia dapat lupa dengan dunia sekitar. Agama yang demikian sungguh mengerdilkan dan tak mendewasakan manusia.
Dari kesimpulan diatas, adalah mentrasformasikan agama menjadi apa yang bisa kita sebut sebagai religiusitas. Agama butuh otoritas eksternal, sementara religiusitas menggali kearifan dalam dirinya sendiri. Agama membayangkan alam surgawi didunia sana sementara religiusitas berjuang membangun alam surgawi bagi kehidupan bersama alam semesta didunia ini. Agama mengajak membayangkan kebahagiaan di alam sana, sementara religiusitas bekerja membangun kebahagiaan bersama di alam ini.
Berusaha  menjadi manusia dewasa spiritualitasnya, sehingga tak bergantung pada otoritas pencerahan dari luar dirinya. Setiap individu manusia menjadi matahari bagi dirinya sendiri karena memang dia telah mencapai pencerahan dalam dirinya sendiri.
Menjadi manusia yang telah menemukan sumber kearifan dalam dirinya sendiri.
Referensi:
Agama itu Bukan Candu - Eko E Darmawan

BAB X - Agama dan Masyarakat

Penjelasan yang bagaimanapun adanya tentang agama, tak akan pernah tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya. Agama, yang menyangkut kepercayaan kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan masalah sosial dan pada saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat manusia. Karena itu segera lahir pertanyaan tentang bagaimana seharusnya dari sudut pandang sosiologis.
Dalam pandangan sosiologi, perhatian utama terhadap agama adalah pada fungsinya terhadap masyarakat. Istilah fungsi seperti kita ketahui, menunjuk kepada sumbangan yang diberikan agama, atau lembaga sosial yang lain, untuk mempertahankan (keutuhan) masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan terus-menerus. Dengan demikian perhatian kita adalah peranan yang telah ada dan yang masih dimainkan.
Emile Durkheim sebagai sosiolog besar telah memberikan gambaran tentang fungsi agama dalam masyarakat. Dia berkesimpulan bahwa sarana-sarana keagamaan adalah lambang-lambang masyarakat, kesakralan bersumber pada kekuatan yang dinyatakan berlaku oleh masyarakat secara keseluruhan bagi setiap anggotanya, dan fungsinya adalah mempertahankan dan memperkuat rasa solidaritas dan kewajiban sosial.
Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime; sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Sebenarnya lembaga keagamaan adalah menyangkut hal yang mengandung arti penting tertentu, menyangkut masalah aspek kehidupan manusia, yang dalam transendensinya, mencakup sesuatu yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi manusia. Bahkan sejarah menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keagamaan merupakan bentuk asosiasi manusia yang paling mungkin untuk terus bertahan.
Dalam kaitannya dengan lembaga sosial yang ada dalam masyarakat, hendaknya cara berpikir sosiologis dipusatkan pada lembaga-lembaga kecil dan besar, serta gabungan lembaga-lembaga yang merupakan sub-sub sistem dalam masyarakat. Para sosiolog cenderung untuk memperhatikan paling sedikit 4 kelompok lembaga-lembaga yang penting (yang dapat dijabarkan ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil dan khusus), yakni:
  1. Lembaga-lembaga politik yang ruang lingkupnya adalah penerapan kekuasaan dan monopoli pada penggunaan kekuasaan secara sah
  2. Lembaga-lembaga ekonomi yang mencakup produksi dan distribusi barang dan jasa
  3. Lembaga-lembaga integrative-ekspresif, yang menurut Inkeles adalah (Alex inkeles 1965: 68). “… Those dealing with the arts, drama, and recreation..This group also includes institutions which deal with ideas, and with the transmission of received values. We may, therefore, include scientific, religius, philosophical, and educational organizations within this category”
  4. Lembaga-lembaga kekerabatan mencakup kaedah-kaedah yang mengatur hubungan seksual serta pengarahan terhadap golongan muda
Walaupun tampaknya, suatu lembaga memusatkan perhatian terhadap suatu aspek kemasyarakatan tertentu, namun di dalam kenyataan lembaga-lembaga tersebut saling berkaitan secara fungsional. Setiap lembaga berpartisipasi dan memberikan kontribusi dengan cara-cara tertentu pada kehidupan masyarakat setempat (“community”). Perbincangan tentang agama dan masyarakat memang tidak akan pernah selesai, seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Baik secara teologis maupun sosiologis, agama dapat dipandang sebagai instrument untuk memahami dunia. Dalam konteks itu, hampir-hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis hal itu dikarenakan oleh watak omnipresent agama. Yaitu, agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya “hadir dimana-mana”, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial, budaya, ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri ini, dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada, ia diharapkan dapat memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia, baik yang bersifat sosial-budaya, ekonomi maupun politik. Sementara itu, secara sosiologis tak jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi.
Kehadiran agama-agama didunia memang mampu memberikan warna-warni terhadap kehidupan dunia. Karena agama secara umum kehadirannya disertai “dua muka” (janus face). Pada satu sisi , secara inherent agama memiliki idensitas yang bersifat “exclusive”, “particularist”, dan “primordial”. Akan tetapi, pada waktu yang sama, agama juga kaya akan identitas yang bersifat “inclusive”, “universalist”, dan “transcending”. Atau dengan kata lain mempunyai energi konstruktif dan destruktif terhadap umat manusia. Yang dalam perjalanan sejarahnya mampu memberikan kedamaian hidup umat manusia, tetapi juga menimbulkan malapetaka bagi dunia akibat perang antar agama dan politisasi suatu agama tertentu oleh para penguasa yang dzolim. Sejarah mencatat “perang salib” atau “perang sabil” antara islam dengan Kristen selama empat abad lamanya dengan kemenangan silih berganti.
Pemeluk agama-agama di dunia meyakini bahwa fungsi utama agama yang dipeluknya itu adalah memandu kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di dunia dan keselamatan sesudah hari kematian. Mereka menyatakan bahwa agamanya menyatakan kasih sayang pada sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan, alam tumbuh-tumbuhan, hewan, hingga benda mati. Sehingga dalam usahanya untuk membentuk kehidupan yang damai, banyak dari para ahli dan agamawan dari tiap-tiap agama melakukan dialog-dialog untuk memecahkan konflik keagamaan. Pada level dunia mulai muncul pandangan tentang universal religion yaitu suatu agama yang tidak membedakan dari mana asal teologis dan unsur transcendental suatu agama tetapi memandang tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kedamaian dan keberlangsungan hidup berdampingan.
Di Indonesia sendiri konflik agama baik yang bersifat murni maupun yang ditumpangi oleh aspek budaya, politik, ideologi dan kepentingan golongan banyak mewarnai perjalanan sejarah Indonesia. Bahkan diera reformasi dan paska reformasi, agama telah menunjukkan peran dan fungsinya yang nyata. Baik kekuatan yang konstuktif maupun kekuatan yang destruktif. Sesudah gerakan reformasi, suatu keyakinan ketuhanan atau keagamaan banyak dituduh telah menyebabkan konflik kekerasan dinegeri ini. Selama empat tahun belakangan, ribuan anak bangsa mati tanpa tahu untuk apa. Ribuan manusia terusir dari kampong halamannya, tempat mereka dilahirkan. Ribuan anak-anak lainnya pun menjadi piatu, kehilangan sanak keluarganya dan orang-orang yang dikasihi.
Pertanyaan tentang mengapa bangsa yang selama ini dikenal santun dan relegius, berubah beringas dan mudah melakukan tindak kekerasan pada sesama, jawabanya tidak pernah jelas dan beragam. Apakah hal ini karena faktor keagamaan, etnisitas, ekonomi dan politik atau faktor lain, masih menjadi bahan perdebatan panjang. Fungsi agama pun tetap diperdebatkan oleh para ilmuan, apakah agama sebagai pemicu konflik atau agama sebagai faktor integrasi sosial.

Agama : Bukan Sekedar Ada dan Tidak Ada
Salah satu ahli yang memahami agama sebagai variabel multidimensi tersebut adalah Glock. Ia memperkenalkan suatu konsep yang disebut komitmen religius, yaitu rasa keterikatan terhadap agama yang mencakup dimensi keyakinan, dimensi ritual, dimensi perasaan atau penghayatan, dimensi pengetahuan, dan dimensi konsekuensi atau pengaruhnya terhadap perilaku sehari-hari. Agar DailyReaders lebih mudah memahami konsep komitmen religius berikut akan dijelaskan lebih mendalam mengenai kelima dimensi tersebut:

Dimensi Keyakinan (Ideological Involvement)
Dimensi keyakinan, atau disebut juga sebagai doktrin, merupakan dimensi paling mendasar dari agama. Dimensi ini menjelaskan seberapa kuat seseorang memegang keyakinan mengenai ajaran agama yang dianut, sejauh mana orang menerima hal-hal yang teologis di dalam agama mereka, dan seberapa jauh keyakinan tersebut terlihat dalam kehidupan sehari-hari seseorang.
]
Dimensi ritual (ritual involvement)
Dimensi ritual dapat menjelaskan komitmen religius seseorang melalui seperangkat tingkah laku yang diharapkan muncul dari seseorang yang menyatakan keyakinannya pada agama tertentu. Tingkah laku tersebut memang menjadi bagian dari ajaran agama itu sendiri. Dalam agama Islam, shalat, puasa, dan membayar zakat adalah contoh dari tingkah laku tersebut.

Dimensi Perasaan (Experience Involvement)
Dimensi ini dapat memberikan penjelasan mengenai dunia mental dan emosional seseorang. Selain itu, dimensi ini juga menjelaskan mengenai keinginan untuk mempercayai suatu agama, perasaaan takut menjadi seseorang yang tidak religius, dan munculnya perasaaan kesejahteraan fisik, psikologis, dan spritual karena keyakinan terhadap agama. Dengan menggunakan dimensi ini, maka kita dapat menguji kebenaran dari keyakinan dan ada atau tidaknya ruh ketuhanan seseorang.

Dimensi Pengetahuan (Intellectual Involvement)
Dimensi ini menjelaskan mengenai seberapa jauh informasi yang diketahui seseorang mengenai agama yang diyakininya, seperti sejarah dan latar belakang lahirnya agama tersebut, tanggal-tanggal penting, atau nama-nama tokoh yang berjasa. Dimensi ini juga dapat menjelaskan keterbukaan seseorang dalam menyikapi hal-hal yang bertentangan dengan agamanya.

Dimensi Konsekuensi (Consequential Involvement)
Dimensi konsekuensi menjelaskan mengenai tingkah laku seseorang. Berbeda dengan dimensi ritual, dalam dimensi konsekuensi yang dimaksud dengan tingkah laku adalah hal-hal yang dimunculkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari yang dimotivasi oleh ajaran agamanya. Dimensi ini merupakan efek dari empat dimensi sebelumnya.

Bukan Sekedar ”Ada” atau ”Tidak Ada”
Penjelasan di atas memberikan pembuktian sekaligus gambaran bahwa agama tidak sesederhana “ada” atau “tidak ada” dalam diri seseorang, melainkan suatu variabel multidimensi yang saling berhubungan. Dengan menggunakan kombinasi dari variabel multidimensi tersebut, maka kita dapat menjelaskan perbedaan serta membuat pemetaan mengenai komitmen religius seseorang. Hal utama adalah perasaan percaya yang teguh terhadap agama yang dipeluknya tersebut.

Agama Sebagai Faktor Konflik di masyarakat
Agama dalam satu sisi dipandang oleh pemeluknya sebagai sumber moral dan nilai, sementara di sisi lain dianggap sebagai sumber konflik.
Agama acap kali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda. Agama pada sesuatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan dan persaudaraan. Namun pada waktu yang lain menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap garang-garang menyebar konflik, bahkan tak jarang, seperti d di catat dalam sejarah, menimbulkan peperangan i catat dalam sejarah, menimbulkan peperangan.
Ada dua pendekatan untuk sampai pada pemahaman terhadap agama. Pertama, Agama di pahami sebagai suatu doktrin dan ajaran. Kedua, Agama di pahami sebagai aktualisasi dari doktrin tersebut yang terdapat dalam sejarah. Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju keselamatan tersebut. Oleh karena itu, dalam setiap agama ada istilah-istilah Dakwah, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Dakwah merupakan upaya mensosialisasikan ajaran agama.
Bahkan, tidak jarang masing-masing agama menjastifikasikan bahwa agamanyalah yang paling benar. Apabila kepentingan ini di kedepankan, masing-masing agama akan berhadapan satu sama lain dalam menegakkan hak kebenarannya. Ini yang memunculkan adanya entimen agama. Dan inilah yang kemudian melahirkan konflik antar agama, bukan intra agama.
Langkah-langkah berikut akan meminimalkan konflik agama yaitu sebagai berikut:
  1. Menonjolkan segi-segi persamaan dalam agama, tidak mempedebatkan segi-segi perbedaan dalam agama
  2. Melakukan kegiatan social yang melibatkan para pemeluk agama yang berbeda
  3. Mengubah orientasi pendidikan agama yang menekankan aspek sektoral menjadi pendidikan agama yang berorientasi pada pengembangan aspek universal
  4. Meningkatkan pembinaan individu yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang memiliki budi pekerti yang luhur dan akhlakuk karimah
  5. Menghindari jauh-jauh sikap egoisme dalam beragama

Referensi:
http://islamkuno.com/2007/12/17/agama-dan-masyarakatsuatu-tinjauan-fungsi-agama-terhadap-masyarakat/
http://www.dailypsychology.net/articles/view/2010/9/54/%20Agama%20:%20Bukan%20Sekedar%20Ada%20dan%20Tidak%20Ada
http://pandidikan.blogspot.com/2010/06/agama-sebagai-faktor-konflik-di.html



BAB IX - Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Kemiskinan


Ilmu Pengetahuan 
Ilmu (atau ilmu pengetahuan) adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Kata ilmu dalam bahasa Arab "ilm" yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan lain sebagainya.  
Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi. 
Contoh: Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bahani (materiil saja) atau ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika membatasi lingkup pandangannya ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang kongkrit. Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jauhnya matahari dari bumi, atau ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi sesuai untuk menjadi perawat.

Syarat-syarat ilmu
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
  1. Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, dan karenanya disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian
  2. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensi dari upaya ini adalah harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari kata Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah
  3. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga
  4. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula
Teknologi
Penerapan keilmuan yang mempelajari dan mengembangkan kemampuan dari suatu rekayasa dengan langkah dan teknik tertentu dalam suatu bidang. Ilmu sains melahirkan teknologi. Teknologi (mengikut Merriam-Webster Dictionary, The American Heritage Dictionary of the English Language: Fourth Edition dan WordNet Dictionary), boleh didefinisikan sebagai, “Pengaplikasian atau penggunaan ilmu terutamanya ilmu sains secara praktikal dan digunakan terutamanya dalam bidang perdagangan dan industri untuk kemanfaatan manusia.” Justeru, ilmu sains merupakan alat penting untuk membina teknologi namun ilmu sains bukanlah teknologi. Sebagai contoh, sains membicarakan tentang teori atom dan daripada itu lahirlah teknologi yang menghasilkan kuasa atom.
Di barat konsep yang merujukkan sains kepada Tuhan, wahyu dan kuasa ghaib dikenali sebagai creationism. Kadang kala ia dikenali juga sebagai intelligent design. Konsep-konsep ini ditolak oleh ramai saintis di barat. Sebagai contoh, para saintis daripada Akademi Sains Kebangsaan di Amerika (The U.S. National Academy of Sciences) menegaskan bahawa “sebarang kenyataan yang menetapkan bahawa asal usul kehidupan ini ada perkaitan dengan kuasa ghaib (supernatural intervention) tidak boleh diiktiraf sebagai sains.” Hal ini dinyatakan dalam Science and Creationism: A View from the National Academy of Sciences, Second Edition, terbitan National Academy of Sciences tahun 1999. 

Kemiskinan 
adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
  1. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar 
  2. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi
  3. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia
Mengukur Kemiskinan
Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori, yaitu Kemiskinan absolut dan Kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dg pendapatan dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari, dg batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari."[1] Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam Kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001.[1] Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut. 
Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara berkembang.

Kemiskinan dipelajari oleh banyak ilmu, seperti ilmu sosial, ekonomi, dan budaya. 
Dalam ekonomi, dua jenis kemiskinan dipertimbangkan: kemiskinan absolut dan relatif. 
Dalam politik, perlawanan terhadap kemiskinan biasanya dianggap sebagai tujuan sosial dan banyak pemerintahan telah berupaya mendirikan institusi atau departemen. Pekerjaan yang dilakukan oleh badan-badan ini kebanyakan terbatas hanya dalam sensus dan pengidentifikasian tingkat pendapatan di bawah di mana warga negara dianggap miskin. Penanggulangan aktif termasuk rencana perumahan, pensiun sosial, kesempatan kerja khusus, dll. Beberapa ideologi seperti Marxisme menyatakan bahwa para ekonomis dan politisi bekerja aktif untuk menciptakan kemiskinan. Teori lainnya menganggap kemiskinan sebagai tanda sistem ekonomi yang gagal dan salah satu penyebab utama kejahatan. 
Dalam hukum, telah ada gerakan yang mencari pendirian "hak manusia" universal yang bertujuan untuk menghilangkan kemiskinan. 
Dalam pendidikan, kemiskinan mempengaruhi kemampuan murid untuk belajar secara efektif dalam sebuah lingkungan belajar. Terutama murid yang lebih kecil yang berasal dari keluarga miskin, kebutuhan dasar mereka seperti yang dijelaskan oleh Abraham Maslow dalam hirarki kebutuhan Maslow; kebutuhan akan keamanan dan rumah yang stabil, pakaian, dan jadwal makan yang teratur membayangi kemampuan murid-murid ini untuk belajar. Lebih jauh lagi, dalam lingkungan pendidikan ada istilah untuk menggambarkan fenomen "yang kaya akan tambah kaya dan yang miskin bertambah miskin" (karena berhubungan dengan pendidikan, tetapi beralih ke kemiskinan pada umumnya) yaitu efek Matthew.
Perdebatan yang berhubungan dalam keadaan capital manusia dan capital individual seseorang cenderung untuk memfokuskan kepada akses capital instructional dan capital social yang tersedia hanya bagi mereka yang terdidik dalam sistem formal.

Kemiskinan Dunia 
Deklarasi Copenhagen menjelaskan kemiskinan absolut sebagai "sebuah kondisi yang dicirikan dengan kekurangan parah kebutuhan dasar manusia, termasuk makanan, air minum yang aman, fasilitas sanitasi, kesehatan, rumah, pendidikan, dan informasi."
Bank Dunia menggambarkan "sangat miskin" sebagai orang yang hidup dengan pendapatan kurang dari AS$1 per hari, dan "miskin" dengan pendapatan kurang dari AS$ 2 per hari. Berdasarkan standar tersebut, 21% dari penduduk dunia berada dalam keadaan "sangat miskin", dan lebih dari setengah penduduk dunia masih disebut "miskin", pada 2001.
Proyek Borgen menunjuk pemimpin Amerika memberikan AS$230 milyar per tahun kepada kontraktor militer, dan hanya AS$19 milyar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan Perkembangan Milenium PBB untuk mengakhiri kemiskinan parah sebelum 2025. 

Penyebab kemiskinan
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
  1. penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin 
  2. penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga 
  3. penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar 
  4. penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi 
  5. Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial
Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan.

Menghilangkan kemiskinan
Tanggapan utama terhadap kemiskinan adalah:
  1. Bantuan kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang miskin. Ini telah menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa sejak zaman pertengahan 
  2. Bantuan terhadap keadaan individu. Banyak macam kebijakan yang dijalankan untuk mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan, termasuk hukuman, pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan lain-lain 
  3. Persiapan bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan secara langsung kepada orang miskin, banyak negara sejahtera menyediakan bantuan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan kesehatan


Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu









BAB VIII - Pertentangan Sosial dan Integrasi Masyarakat

Prasangka, Diskriminasi dan Etnosentrisme 
Prasangka adalah sifat negatif terhadap sesuatu. Dalam kondisi prasangka untuk menggapai
akumulasi materi tertentu atau untuk status sosial bagi suatu individu atau suatu kelompok sosial tertentu. Seorang yang berprasangka rasial biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang diprasangkanya.
 

Sebab Timbulnya Prasangka berlatar belakang sejarah. Dilatar belakangi oleh perkembangan sosio-kultural dan situsional. Bersumber dari faktor kepribadian. Berlatar belakang dari perbedaan keyakinan dan agama.
Salah satu daya upaya untuk mengurangi prasangka dan diskriminasi adalah dengan melakukan perbaikan kondisi sosial ekonomi, pemerataan pembangunan, dan usaha peningkatan pendapatan bagi WNI yang masih di bawah garis kemiskinan. Perluasan kesempatan belajar. Sikap terbuka dan lapang harus selalu kita sadar. 
Suku bangsa ras cenderung menganggap kebudayaan sebagai salah satu yang prima, riil, logis, sesuai kodrat alam,dsb. Etnosentrisme merupakan gejala sosial yang universal. Etnosentrik merupakan akibat etnosentrisme penyebab utama kesalah pahaman berkomunikasi. Etnosentrisme dapat dianggap sebagai sikap Chauvinisme pernah dianut orang – orang Jerman zaman Nazi.

Integrasi Sosial
Integrasi berasal dari bahasa inggris "integration" yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi. 
Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan di mana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka masing-masing. Integrasi memiliki 2 pengertian, yaitu : Pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu. Sedangkan yang disebut integrasi sosial adalah jika yang dikendalikan, disatukan, atau dikaitkan satu sama lain itu adalah unsur-unsur sosial atau kemasyarakatan. 
Suatu integrasi sosial di perlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik merupa tantangan fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya. Menurut pandangan para penganut fungsionalisme struktur sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas dua landasan berikut:
  1. Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus (kesepakatan) di antara sebagian besar anggota masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental (mendasar)
  2. Masyarakat terintegrasi karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliation). Setiap konflik yang terjadi di antara kesatuan sosial dengan kesatuan sosial lainnya akan segera dinetralkan oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial
Penganut konflik berpendapat bahwa masyarakat terintegtrasi atas paksaan dan karena adanya saling ketergantungan di antara berbagai kelompok. Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar masyarakat memiliki kesepakatan tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-pranata sosial.

Bentuk Integrasi Sosial
Asimilasi, yaitu pembauran kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli. Akulturasi, yaitu penerimaan sebagian unsur-unsur asing tanpa menghilangkan kebudayaan asli.

Faktor-Faktor Pendorong 

A. Faktor Infernal : 

  • kesadaran diri sebagai makhluk sosial 
  • tuntutan kebutuhan
  • jiwa dan semangat gotong royong
B. Faktor External :
  • tuntutan perkembangan zaman
  • persamaan kebudayaan
  • terbukanya kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan bersama
  • persaman visi, misi, dan tujuan
  • sikap toleransi
  • adanya kosensus nilai
  • adanya tantangan dari luar 
Syarat Berhasilnya Integrasi Sosial 
1. Untuk meningkatkan Integrasi Sosial, Maka pada diri masing-masing harus mengendalikan perbedaan/konflik yang ada pada suatu kekuatan bangsa dan bukan sebaliknya 
2. Tiap warga masyarakat merasa saling dapat mengisi kebutuhan antara satu dengan yang lainnya

Integritas Nasional
  Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) nasional agaknya berangkat dari kondisi di tanah air dewasa ini yang dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan pertikaian. Membangun dan mempertahankan integrasi nasional adalah agenda yang belum terselesaikan. Untuk melakukannya diperlukan konsistensi, kesungguhan, dan sekaligus kesabaran. Agar upaya pembinaan itu efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat. hendaknya kita memperkukuh integrasi nasional paling tidak menyangkut lima faktor penting.
Pertama, membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran, dan kehendak untuk bersatu. Perjalanan panjang bangsa Indonesia untuk menyatukan dirinya, sebutlah mulai Kebangkitan Nasional 1908, Sumaph Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945, dan rangkaian upaya menumpas pemberontakan dan saparatisme, harus terus dilahirkan dalam hati sanubari dan alam pikiran bangsa Indonesia.
Kedua, menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus. Kompromi dan kesepakatan adalah jiwa musyawarah dan sesungguhnya juga demokrasi. Iklim dan budaya yang demikian itu, bagi Indonesia yang amat majemuk, sangat diperlukan. Tentunya, penghormatan dan pengakuan kepada mayoritas dibutuhkan, tetapi sebaliknya perlindungan terhadap minoritas tidak boleh diabaikan. Yang kita tuju adalah harmoni dan hubungan simetris, dan bukan hegemoni. Karena itu, premis yang mengatakan �The minority has its say, the majority has its way� harus kita pahami secara arif dan kontekstual.
Ketiga, membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan pada nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa. Menyuburkan integrasi nasional tidak hanya dilakukan secara struktural tetapi juga kultural. Pranata itu kelak harus mampu membangun mekanisme peleraian konflikk (conflict management) guna mencegah kecenderungan langkah-langkah yang represif untuk menyelesaikan konflik.
Keempat, merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam segala aspek kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan semua pihak, semua wilayah. Kebijakan otonomi daerah, desentralisasi, keseimbangan pusat daerah, hubungan simetris mayoritas-minoritas, perlindungan kaum minorotas, permberdayaan putra daerah, dan lain-lain pengaturan yang sejenis amat diperlukan. Disisi lain undang-undang dan perangkat regulasi lain yang lebih tegas agar gerakan sparatisme, perlawanan terhadap ideologi negara, dan kejahatan yang berbau SARA tidak berkembang dengan luluasa, harus dapat kita rumuskan dengan jelas.
Kelima, upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif. Setiap pemimpin di negeri ini, baik formal maupun informal, harus memilikim kepekaan dan kepedulian tinggi serta upaya sungguh-sungguh untuk terus membina dan memantapkan integrasi nasional. Kesalahan yang lazim terjadi, kita sering berbicara tentang kondisi objektif dari kurang kukuhnya integrasi nasional di negeri ini, serta setelah itu �bermimpi� tentang kondisi yang kita tuju (end state), tetapi kita kurang tertarik untuk membicarakan prose dan kerja keras yang harus kita lakukan. Kepemimpinan yang efektif di semua ini akhirnya merupakan faktor penentu yang bisa menciptakan iklim dan langkah bersama untuk mengukuhkan integrasi nasional.


Referensi:
http://www.scribd.com/doc/24983127/PRASANGKA-DISKRIMINASI-DAN-ETNOSENTRISME
http://ocw.gunadarma.ac.id/course/letters/study-program-of-english-literature-s1/ilmu-sosial-dasar/pertentangan-pertentangan-sosial-dan-integrasi
http://id.wikipedia.org/wiki/Integrasi_sosial
http://www.minangkabauonline.com/berita-194-integrasi-nasional.html