Selamat Datang

Selamat datang di blognya orang Indonesia asli. Silahkan melihat-lihat sekeliling. Semoga bermanfaat bagi hidup dan kehidupan.

Jumat, 11 Maret 2011

Etika dan Profesionalisme TSI - 1


Cybercrime: Domain Name

Latar Belakang
Kejahatan ini biasanya dilakukan ketika nama domain atau nama website yang dipublish ke internet, sama dengan nama sebuah perusahaan / organisasi / nama kelompok. Misalnya ada sebuah perusahaan A, mempunyai nama domain A.com. Tapi kemudian ada lagi nama A dengan nama domain A.co.id. Hal ini akan menimbulkan kerugian, khususnya nama baik perusahaan A, jika nama domain yang memakai nama perusahaan tersebut menyalahgunakan nama perusahaan A. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat contoh kasus seperti dibawah ini.

Contoh Kasus
Dibawah ini adalah contoh kasus yang diangkat oleh website majalah tempo tentang cybercrime domain name.

PERADILAN pidana Indonesia kini memasuki dunia baru. Untuk pertama-kalinya, kasus situs di jagat internet disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Terdakwanya Tjandra Sugiono, 32 tahun, Presiden Direktur PT Djagomas, perusahaan di bidang teknologi informasi. Tjandra dituduh telah membajak nama domain www.mustika-ratu.com di situs dunia maya. Menurut Jaksa Suhardi, Tjandra, yang lulusan computer science dari Universitas North Eastern, Amerika, mendaftarkan nama domain Mustika Ratu ke Network Solution Inc. di Amerika, pada 7 Oktober 1999.
Ketika itu Tjandra sebagai Manajer Umum Pemasaran Internasional PT Martina Bertho, produsen jamu dan kosmetik tradisional Sari Ayu, bertugas memasarkan produk Sari Ayu di luar negeri. Kebetulan, Tjandra adalah menantu Ratna Pranata, adik kandung Martha Tilaar, bos Sari Ayu-saingan utama PT Mustika Ratu milik Mooryati Sudibyo. Kontan Mustika Ratu, sebagai pemilik merek dagang yang nama domainnya di-serobot, merasa berang. Apalagi situs buatan Tjandra justru menampilkan produk Sari Ayu.
Perbuatan Tjandra, kata Jaksa Suhardi, tergolong persaingan curang dengan cara menipu masyarakat konsumen dan merugikan Mustika Ratu. Karenanya, jaksa membidik terdakwa dengan Pasal 382 bis KUHP, yang berancaman maksimal hukuman setahun empat bulan penjara. Selain menggunakan pasal persaingan curang di KUHP, yang dulu acap diterapkan pada kasus pembajakan merek dagang, jaksa juga menjaring terdakwa dengan Pasal 19 Huruf b dan Pasal 48 Ayat (1) Undang-Undang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal ini mengancam pelaku usaha yang menghalangi masyarakat konsumen berhubungan dengan pelaku usaha saingannya, dengan denda minimum Rp 25 miliar atau maksimum Rp 100 miliar.
Sepintas, dakwaan jaksa cukup seram. Toh, Tjandra mengaku dirinya tak beritikad buruk membajak nama domain Mustika Ratu. "Kalau saya beritikad buruk, ngapain saya cantumin nama saya," ujar Tjandra. Buktinya, tutur Tjandra, pada September 2000 ia telah mencabut domain itu dari Network Solution dan mengembalikannya kepada Mustika Ratu. Lagi pula, kata pengacara Tjandra, Didi Irawadi Syamsudin, Tjandra tak menjelek-jelekkan apalagi merugikan Mustika Ratu lewat domain tersebut. Soalnya, kata Didi, Tjandra tak mengisi apa pun di situs itu. Bagi Didi, kliennya tak bisa dianggap melanggar hukum. Sebab, di dunia maya, siapa pun boleh mendaftarkan nama domain apa pun. Toh, nama domain cuma sekadar alamat atau nomor telepon untuk mempermudah pencarian informasi melalui internet. Nama domain di jagat maya tak seperti nama merek dagang di dunia nyata.
Yang penting, begitu suatu nama terdaftar, pendaftar berikutnya tak boleh menggunakan nama domain serupa. Kalau nama digital berbuntut com sudah didaftarkan orang lain, pendaftar berikutnya bisa memakai nama berakhiran org, net, atau co.id. Itulah yang dilakukan Mustika Ratu dengan nama domain www.mustika-ratu.co.id. Sementara itu, ada orang lain di Amerika yang juga mendaftarkan domain dengan nama mustikaratu.com, mustikaratu.net, dan mustikaratu.org. "Kalau Mustika Ratu merasa dirugikan, kenapa pendaftar lainnya itu tak dituntut?" kata Didi. Menurut anak dari pengacara senior Amir Syamsuddin itu, perkara Tjandra tak layak diadili. Sebab, hingga kini belum ada undang-undang khusus tentang cyber law.
Pasal persaingan curang dalam KUHP ataupun dalam Undang-Undang Antimonopoli yang diterapkan jaksa, kata Didi, tidak tepat karena Tjandra bukan pesaing Mustika Ratu. PT Martina Bertho juga menyatakan, perkara Tjandra tak berkaitan dengan PT Martina. Perbuatan Tjandra dilakukan sebagai Presiden Direktur PT Djagomas, bukan sebagai Manajer Umum Pemasaran Internasional PT Martina. Tapi, kata jaksa, Tjandra mundur dari jabatan di PT Martina Bertho pada Juni 2000 setelah kasus terjadi. Kalau Undang-Undang Antimonopoli dipaksakan, kata Didi, itu pun bukan komptensi pengadilan, melainkan wewenang Komisi Persaingan Usaha. Ini pun dengan catatan masih masih ada persoalan menyangkut yurisdiksi hukum. Sebab, perkara internet menyangkut dunia maya dan pendaftaran nama domainnya di Amerika. Sekalipun demikian, Didi membenarkan kemungkinan perkara Tjandra lebih tepat diuji di pengadilan perdata. Pendapat senada juga diutarakan ahli hukum internet di Universitas Padjadjaran, Bandung, Ahmad M. Ramli. "Kalau diterapkan Pasal 382 bis KUHP ataupun Undang-Undang Antimonopoli, itu bukan hanya tak tepat dan tak adil, tapi juga tragedi bagi dunia cyber," kata Ramli. Boleh jadi Didi dan Ramli merujuk pendapatnya pada pelbagai kasus penyalahgunaan nama domain yang pernah terjadi di Amerika. Tentu termasuk pula kasus pendaftaran nama domain lebih dulu untuk kemudian dijual dengan harga selangit kepada yang berminat, bahkan kepada pemilik asli nama yang digunakan. Ini mirip rimba merek dagang di Indonesia. Pelbagai kasus itu telah diputuskan, baik oleh pengadilan maupun arbitrase di Organisasi Dunia untuk Hak-Hak Milik Intelektual (WIPO). Di antaranya kasus penggunaan nama artis Hollywood, Julia Roberts. Ada pula kasus Dennis Toeppen, sang pembajak merek terkenal yang telah dihukum berkali-kali supaya membayar ganti rugi. Satu hal penting yang diterapkan pada aneka perkara di Amerika itu adalah itikad baik bagi pengguna dan pendaftar nama domain.
Norma hukum ini pun sesungguhnya tak beda dengan prinsip pada hukum hak milik intelektual di Indonesia, termasuk hak cipta dan merek dagang. Menghadapi serangan balik pengacara, Jaksa Suhardi baru akan menanggapinya pada sidang Kamis pekan ini. Agaknya, jaksa akan melengkapi ilmu penafsiran hukum sekaligus memperkuat pembuktiannya kelak. Setidaknya jaksa bisa menggunakan yurisprudensi tentang penafsiran luas di hukum pidana pada kasus pencurian listrik-yang dulu dianggap tak ada barangnya-pembobolan kartu kredit, serta pembobolan BNI '46 cabang New York melalui komputer.
Yang pasti, perkara nama domain ini cukup menunjukkan betapa Indonesia, yang sudah dilanda era internet selama satu dasawarsa, amat ketinggalan dari negara lain karena belum juga memiliki cyber law. Di Singapura, contohnya, sudah ada The Electronic Act 1998 (Undang-Undang Transaksi Elektronik) dan Computer Misuse Act (Undang-Undang Penyalahgunaan Komputer). Bahkan seorang remaja Indonesia berusia 16 tahun, Wenas, pernah dihukum di Negeri Singa itu karena membobol situs milik pemerintah Singapura. Sementara itu, di Amerika, pada November 1999 ada Undang-Undang Anti-Cybersquatting (larangan penggunaan nama domain orang lain secara tidak sah). Memang, di Indonesia sudah ada Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Tele-komunikasi. Namun, Pasal 22 dan Pasal 49 Undang-Undang Telekomunikasi, yang melarang manipulasi akses jaringan tele-komunikasi, menurut Jaksa Suhardi lebih dimaksudkan untuk mengatur peralatan telekomunikasi, bukan masalah internet. Alhasil, beberapa delik internet selain perkara nama domain di atas juga sulit dijangkau hukum. Misalnya, kasus yang menimpa fasilitas e-banking milik Bank Central Asia le-wat situs klikbca.com, pada Mei 2001. Situs itu dipelesetkan oleh seorang web designer di Bandung, Steven Hariyanto, menjadi kilkBCA.com atau clickbca.com. Akibatnya, nasabah BCA yang keliru mengetik nama situs akan masuk ke situs tiruan itu. Si nasabah pun tak bisa bertransaksi, sementara personal identification number miliknya terekam di situs gadungan tersebut.
Nasib serupa juga terjadi pada kasus pembobolan kartu kredit melalui internet, di Jawa Tengah, April 2001. Awalnya, polisi Semarang sudah menangkap empat carder (pembobol kartu kredit lewat internet). Dari keempat pelaku, didapatkan 999 nomor kartu kredit yang tersimpan dalam e-mail. Polisi lantas menjerat carder itu dengan delik pencurian (Pasal 362 KUHP). Toh, akhirnya para tersangka tak ditahan. Alasan polisi, sulit memperoleh bukti kasus itu, terutama keterangan saksi korban, yang kebanyakan adalah pemilik kartu kredit di luar negeri. Itu baru delik internet bermodus carder.
Belum lagi yang berpola cracker ataupun hacker (pembobol ataupun pemanipulasi situs pihak lain). Karena itu, sudah waktunya Indonesia segera memiliki cyber law. Sebenarnya, pemerintah sejak akhir tahun 2000 sudah membentuk tim telematika untuk mempersiapkan cyber law. Sayangnya hingga kini rancangan undang-undangnya tak kunjung rampung. Kabarnya, itu lantaran ada perdebatan alot di tim penyusunnya, yakni antara pihak yang menghendaki undang-undang khusus tentang internet dan kubu yang berpendapat bahwa aturan tentang internet cukup ditebar ke berbagai undang-undang yang sudah ada. Bisa atau tidak cyber law lahir pada tahun ini, yang jelas karakteristik dunia maya mesti dicermati. Tak seperti di dunia nyata, peristiwa di jagat internet demikian cepat, bahkan pengguna internet belum sempat menyadari keisengannya. Karenanya, cyber law jangan sampai memasung kreativitas para petualang yang berselancar di internet. Selain itu, pemahaman tentang rambu-rambu hukum pun mesti disosialisasikan kepada mereka. Agung Rulianto, Arif Kuswardono, Dwi Arjanto, Rinny Srihartini (Bandung).

Solusi
Dari contoh kasus diatas, saya dapat menyimpulkan bahwa memang perlu dibuatnya undang-undang dalam dunia internet (cyber law) di Indonesia. Undang-undang yang mengatur segala hal dalam dunia cyber. Yang pastinya undang-undang tersebut dibuat oleh para pakar IT yang ahli dibidangnya.
Internet bukan suatu hal yang baru lagi, bahkan tingkat SD pun sudah menggunakan internet sebagai tempat untuk mencari bahan pelajaran. Karena itu sebaiknya pemerintah perlu memikirkan lagi tentang cyber law.
Seperti kasus diatas, jika ada undang-undang yang mengatur tentang domain name, kemungkinan pihak yang membuat nama www.mustika-ratu.com dapat dituntut karena menggunakan nama domain yang sama dengan nama perusahaan, yang sebenarnya apa yang ditampilkan di dalam website tersebut adalah bukan produk buatan mustika ratu tapi buatan sari ayu.
Tapi sayangnya di Indonesia belum ada undang-undang yang cukup jelas tentang cyber, khususnya domain name pada kasus ini. Malah dikaitkan dengan pasal 382 bis KUHP, yang berancaman maksimal hukuman setahun empat bulan penjara. Selain menggunakan pasal persaingan curang di KUHP, yang dulu acap diterapkan pada kasus pembajakan merek dagang, jaksa juga menjaring terdakwa dengan Pasal 19 Huruf b dan Pasal 48 Ayat (1) Undang-Undang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal ini mengancam pelaku usaha yang menghalangi masyarakat konsumen berhubungan dengan pelaku usaha saingannya, dengan denda minimum Rp 25 miliar atau maksimum Rp 100 miliar.
Pasal ini menurut saya tidak cukup kuat untuk menjatuhkan hukuman karena tidak kuatnya isi pasal tersebut dengan kasus yang ada. Apalagi dunia cyber, semuanya serba maya, tidak bisa dihubungkan dengan pasal-pasal tersebut.
Saran saya, pemerintah atau siapa pun itu yang ahli di bidang IT, mungkin Roy Suryo, dapat memikirkan cyber law untuk kedepannya. Karena pastinya untuk 10 tahun kedepan, dunia cyber akan makin marak dengan berbagai kemungkinan yang tidak mungkin tapi bisa menjadi mungkin didunia cyber. Tapi harus berhati-hati jika membuat cyber law, jangan sampai merugikan pihak yang tidak bersalah.

Ref:
http://haifani.wordpress.com/2009/08/13/kejahatan-internetcybercrime-dan-segala-macam-pernak-perniknya/
www.tempointeraktif.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar