Selamat Datang

Selamat datang di blognya orang Indonesia asli. Silahkan melihat-lihat sekeliling. Semoga bermanfaat bagi hidup dan kehidupan.

Minggu, 21 November 2010

BAB X - Agama itu Bukan Candu

Pada awalnya berawal dari sebuah pertanyaan tentang apakah agama itu sebenarnya? kenapa dengan agama justru manusia membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. Masing-masing manusia merasa agama yang dianutlah yang paling benar.  Sampai akhirnya saya dipertemukan beberapa buku secara tidak sengaja atau mungkin ini yang namanya jodoh (jodoh bukan hanya pasangan hidup kan??).
Saya sudah membaca beberapa buku yang membahas tentang Agama. Tidak ada salahnya jika kita belajar untuk membaca pikiran dari tokoh yang menganut paham komunisme. Dan tidak ada salahnya juga jika mengambil pesan yang baiknya sebagai bahan wacana dan pembelajaran hidup. Menurut saya hidup tidak perlu kaku, buka wacana seluas-luasnya, karena tidak semua yang menurut asumsi masyarakat itu hal yang buruk adalah buruk benar adanya.
Buku ini adalah salah satu buku terbaik saya. Buku karangan Eko E Darmawan. “Berjudul Agama itu bukan candu”. Diawal buku ini pun beliau menceritakan sejarah awal bagaimana beliau mengangkat tema ini. Semua berawal dari keheranan. Keheranan ketika beliau melihat beberapa mahasiswa melakukan solat, tapi setelah itu mereka melakukan aktivitas yang tak berguna justru setelah mereka melakukan solat. Semakin banyak peribadatan yang kita lakukan, tampaknya semakin membuat kita tidak pernah membuat resah dan merasa bersalah.  Justru rasa tenang dan nyaman yang timbul. Karena sudah “menyenangkan” Tuhan. Menjalankan peribadatan telah membuat kita merasa telah menjadi saleh. Dan asal hidup kita sukses, anak kita sukses, maka selesailah urusan kita. Tetapi apakah keyakinan yang demikian itu memang sebuah keber-agamaan yang sejati? Didalam buku ini terdapat 3 tokoh, Feuerbach, Marx dan Tan Malaka yang kebetulan adalah penganut aliran komunisme. Tapi yang dibahas disini bukan tentang komunisme, tapi bagaimana pemikiran mereka terhadap agama, dan apa itu agama menurut mereka sendiri. Menurut saya adalah hal yang baik ketika kita membaca dan mendengar sisi lain dari sesuatu atau dalam hal ini adalah seseorang yang fenomenal di dunia.
Sedikit mengulas isi buku. Saya akan mencoba mengulas pembahasan tentang Feuerbach. Disini dibahas tentang hasil karya pemikiran Feuerbach yang berjudul “The Essence of Chrisrtianity”. Buku ini tidak mudah dicerna karena harus memilih inti pemahaman diantara tumpukan kalimat-kalimat yang sulit dan bersegi banyak maknanya.  “Certainly, my work is negative, destructive; but, be it observed, only in relation to the unhuman, not to human elements of religion”. Buku ini mengkritik bukan yang sembarang kritik, tetapi kritik yang berusaha meruntuhkan pemaknaan agama yang tidak manusiawi, pemaknaan agama yang menjadikan sesuatu diluar manusia sebagai tujuan agama. Kritik ini adalah kritik terhadap mereka yang terlalu teosetris dalam memahami agama hingga melupakan hakekat antro posentris dari agama.
Menurutnya agama tidak semata-mata tentang Tuhan, tapi pengembangan diri manusia. Agama bukanlah tentang Tuhan yang secara sewenang-wenang menyuruh manusia untuk patuh dan taat kepada-Nya, namun tentang pulihnya kesadaran. Dalam diri manusia akan perjalanan hidupnya, dari makhluk yang terperangkap dalam batas-batas ruang dan waktu menjadi yang mensemesta.
Pola pemaknaan agama yang terlalu teosentris akan menjadikan Tuhan itu terasa sebagai Tuhan yang harus dipatuhi dan ditaati. Sementara pola pemaknaan agama menurut Feuerbach ialah agama sebagai antropologi, yaitu agama sebagai ajaran tentang hakekat manusia. Artinya, bagaimana mausia terus menerus mengembangkan keberadaannya. Misi agama adalah tentang bagaimana manusia mengisi atau membentuk eksistensinya secara konkret di alam raya ini.
“Religion has its genesis in the essential difference between man and the animal. The animals have no religion”. Jawaban yang paling umum dan paling berhubungan dengan pernyataan ini adalah kesadaran. Menurutnya kesadaran adalah kesanggupan untuk merenungkan cara bereksistensinya, modus kehidupannya. Dan kesanggupan itu berarti bahwa manusia bisa bertanggung jawab atas  pembentukan caranya  bereksistensi, caranya menjalani hidup.
Manakala kesadaran itu sedemikian terbatas, dan karena keterbatasannya itu berwatak tegas dan tepat, yang sedang kita bicarakan itu sebenarnya bukanlah kesadaran, namun naluri. Kesadaran sanggup melampaui batas-batas modus eksistensi. Kesadaran sanggup menyaksikan dan bahkan menilai kehidupan alam semesta ini secara keseluruhan.
Meminjam kata-kata Muhammad Zuhri: “Ketahuilah, bahwa bermilyar tahun semesta dalam keadaan tak sadar akan dirinya. Dan ketika ia sadar akan dirinya, manusialah wujudnya!”
Lalu Feuerbach menjelaskan esensi manusia. “Reason, Will and Heart”. Feuerbach mengangap ketiganya  (akal budi, kehendak dan hati/perasaan) sebagai kekuatan-kekuatan ilahiah yang bersemayam dalam diri manusia. Ketiganyalah yang menjadikan manusia sebagai manusia ditengah alam semesta ini. Tanpa salah satunya, akan membuat manusia tak lagi manusiawi.
Ketiganya bisa diarahkan pada keterbatasan, kedunia ruang dan waktu yang terbatas, namun juga bisa diarahkan kearah ketakterbatasan, ke dunia yang melampaui ruang dan waktu.
Jika kita membandingkan pendapat Feuerbach denagn ajaran keraifan tradisional didunia, maka sesungguhnya pemikirannya bukanlah sesuatu yang baru. Fardu’d-din Attar, seorang sufi besar, dalam karyanya “Musyawarah Burung” misalnya mengajarkan: “Bila kau ingin sempurna carilah kesemestaan, pilihlah kesemestaan, jadilah kesemestaan”.
Sementara dalam ajaran Zen Buddhisme dinyatakan: “manusia itu egois, yang satu berpikir bahwa ‘diri’ itu adalah ‘saya’, sehingga lalu membeda-bedakan dirinya dari orang lain lalu sengsara. Sesungguhnya, manusia tidak lain adalah salah satu dari unsur-unsur keagungan alam. Renungkan itu…”
Menurut Feuerbach, Tuhan adalah hakekat manusia yang sejati yang mengatasi ruang dan waktu, dan memanggil hakekat manusia yang terperangkap dalam ruang dan waktu untuk kembali bersatu dalam kesemestaan.
Manusia bisa tahu tentang keberadaan Tuhan, adalah dengan lewat pewahyuan.  Pewahyuan merupakan sebuah pertemuan dan dialog antara Tuhan yang mewahyukan diri sebagai kesempurnaan hakekat manusia dengan hakekat manusia individual yang terperangkap dalam tubuh yang meruang dan mewaktu.
Karena kasih sayang-Nya, Tuhan mewahyukan diri-Nya selaras dengan bahasa manusia, selaras kodrat manusia, karena memang jika tak demikian, manusia tak akan sanggup memahami Tuhan. Cara yang selaras baik dengan kodrat manusia maupun dengan kesempurnaan Tuhan ialah dengan menghadirkan diri-Nya sebagai wujud kesempurnaan kodrat manusia. Tuhan memang tujuan manusia yang beragama. Bersatu dalam Tuhan adalah cita-cita mereka yang berjiwa religius.
 Manusia membutuhkan sesuatu diluar dirinya, membutuhkan dunia sebagai arah, bahan, medium dan sekaligus tujuan pengejawantahan dirinya. Dalam bahasa sehari-hari, pengejawantahan kita sebut sebagai  bekerja. Akal budi, kehendak dan perasaan membutuhkan sesuatu diluar dirinya. Agar bisa mengejawantah, dan bisa mewujudkan dirinya. Karena itu manusia tidak bisa lepas dari apa segala yang ada dialam, agar ketiga esensi tersebut dapat tumbuh dan berkembang.
Kark Marx, adalah tokoh kedua dibuku ini. Menurut beliau bahwa Feuerbach melupakan satu hal penting: keber-agaman. Karena keber-agaman adalah sesuatu yang bukan telah ada begitu saja dalam diri manusia, namun lebih merupakan sebuah proses aktif dari manusia itu sendiri dalam proses pergaulannya bersama dengan sesama manusia dan alam materialnya.
Menurutnya kesadaran akan esensi itu bukanlah sesuatu yang abstrak, sesuatu yang bisa dikembangkan dalam keterisolasian dari konteks sosio-historis.
Rasa keberagaman itu adalah sesuatu yang konkret, karena dia merupakan inti dari manusia yang konnkret, karena dia merupakan inti dari manusia yang konkret pula. Pikiran, perasaan dan kehendak membutuhkan obyek-obyek diluar dirinya sendiri untuk menyatakan dirinya. Tanpa obyek-obyek diluar dirinya, ketiga daya tersebut akan hampa, kosong, abstrak, ilusif.
Pengertian tempat ibadah sebagai rumah Tuhan, diartikan bahwa Tuhan itu hanya ada di masjid, gereja, pura, wihara dsb. Orang hanya merasakan keagungan Tuhan ditempat tertentu. Bukan saat naik bis kota, ditoko sepatu dsb.
Menurut Kark Marx, Saat rasa kehadiran Tuhan hanya berlangsung dalam aktivitas dan tempat tertentu, maka disitulah rasa keber-agamaan itu diredusir maknanya. Tuhan dilokalisir dalam ruang dan waktu tertentu dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dalam bekerja membangun dan mencipta dunia, perasaan, pikiran dan kehendak manusia terus-menerus berkembang semakin luas dan dalam, semakin mensemesta. Semakin kaya bidang kehidupan yang dikenalinya dan dipahaminya, maka semakin luas cakrawala hidup manusia. Dan luasnya cakrawala hidup membuat perasaan, pemikiran dan kehendaknya untuk bersatu dalam arus sejarah alam semesta menjadi tumbuh lebih segar lagi.
Rasa keber-agamaan yang sejati senantiasa memandang dan menghayati sejarah dan dunia ini sebagai suatu yang historis, artinya sesuatu yang 100% hasil kerja tangan-tangan manusia secara kolektif. Dan karena merupakan hasil kerja manusia, maka dunia ini tidaklah absolute maupun sudah final.
Agama adalah candu dari masyarakat dan agama sebagai manusia ideal… dalam wujud bayangan. Surga bayangan, candu membawa kita kedunia impian yang tidak nyata sehingga manusia dapat lupa dengan dunia sekitar. Agama yang demikian sungguh mengerdilkan dan tak mendewasakan manusia.
Dari kesimpulan diatas, adalah mentrasformasikan agama menjadi apa yang bisa kita sebut sebagai religiusitas. Agama butuh otoritas eksternal, sementara religiusitas menggali kearifan dalam dirinya sendiri. Agama membayangkan alam surgawi didunia sana sementara religiusitas berjuang membangun alam surgawi bagi kehidupan bersama alam semesta didunia ini. Agama mengajak membayangkan kebahagiaan di alam sana, sementara religiusitas bekerja membangun kebahagiaan bersama di alam ini.
Berusaha  menjadi manusia dewasa spiritualitasnya, sehingga tak bergantung pada otoritas pencerahan dari luar dirinya. Setiap individu manusia menjadi matahari bagi dirinya sendiri karena memang dia telah mencapai pencerahan dalam dirinya sendiri.
Menjadi manusia yang telah menemukan sumber kearifan dalam dirinya sendiri.
Referensi:
Agama itu Bukan Candu - Eko E Darmawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar